Semua orang punya caranya masing-masing ketika mengambil keputusan penting dalam hidup, seperti urusan pendidikan, sehingga apa yang akan Saya sampaikan ini bukanlah template baku – terlebih lagi mungkin saja sebagian orang melihat Saya agak berlebihan – untuk sebuah keputusan seperti menentukan sekolah. Tapi biarlah, setiap orang punya pandangan berbeda akan apa yang dianggap penting dalam hidupnya, dan bagi Saya pendidikan adalah salah satunya, yang harus saya pikirkan matang-matang.
Dalam menentukan keputusan biasanya saya punya 3 cara: 1) mengumpulkan informasi; 2) mempertimbangkan pilihan yang ada; dan 3) memutuskan. Untuk itu, pada bagian ini Saya akan bercerita dengan 3 babakan tersebut.
Awal Juli 2012 Saya mantapkan bahwa Saya ingin melanjutkan sekolah master pada tahun 2013, dan sejumlah persiapan pun mulai dilakukan. Apa saja yang Saya lakukan?
Jika Saya perhatikan, kebanyakan teman-teman Saya biasanya menentukan sekolahnya dulu ketika ingin melanjutkan kuliah. Tidak salah juga, namun Saya melihat kecendrungannya mereka menjadi impulsif. Yang penting ada beasiswa dimana, maka saya akan mendaftar. Atau yang penting ke sekolah top (ivy league schools - misalnya), terserah jurusannya apa. Saya nggak tahu benar atau salah, karena sifatnya preferensi, namun Saya melihat sayang sekali jika program master yang akan diambil tidak dapat mendukung tujuan hidup kita secara maksimal. Karena, jika Saya berbincang-bincang dengan rekan-rekan yang sudah menjalani master, mereka pada umumnya menyebutkan bahwa keputusan melanjutkan kuliah itu adalah keputusan besar dalam hidup. Mungkin terlihatnya sebentar jika diukur dari waktu (1-2 tahun), namun ada banyak hal lain yang harus ditinggalkan dan dikorbankan. Sayang jika pengorbanannya tidak sesuai dengan apa yang akan diperoleh, meskipun yang namanya “belajar” akan bermanfaat juga pada akhirnya.
Mengumpulkan Informasi
Hal yang pertama kali Saya lakukan bukanlah menentukan Saya mau belajar apa, dan sekolah di mana, namun berkaca pada diri sendiri. Saya mulai mengumpulkan informasi tentang diri Saya sendiri terlebih dahulu. Apakah Saya membutuhkan grad school? Untuk apa? Apakah sekarang adalah saat yang tepat untuk melanjutkan sekolah lagi? Jika jawabannya adalah “ya”, maka baru kita pikirkan langkah selanjutnya. Saya sarankan untuk tidak mudah terpancing dengan lingkungan sekitar. Karena kebanyakan teman kita mengambil master, kita jadi pengen ikut-ikutan ambil master juga. Padahal belum tentu kita benar-benar membutuhkannya saat ini.
Saya juga mulai melakukan pemetaan terhadap diri Saya sendiri. Saya mencoba memvisualisasikan jawaban dari: siapa Saya? Apa yang membuat Saya senang danpassionate? Apa yang membuat Saya sedih? Apa yang saya ingin ubah dari status quo? Apa saja yang sudah Saya lalui selama ini? Apa yang membuat Saya berada di titik kehidupan saat ini? Situasi seperti apa yang bisa membuat Saya jadi kreatif? Seperti apa sosok role model yang ingin Saya ikuti jejaknya? Apa kekuatan dan kelemahanSaya? bagaimana Saya melihat diri Saya di masa depan? Karir seperti apa yang Saya bayangkan? Bagaimana cara/langkah strategis yang harus Saya lakukan untuk sampai ke cita-cita yang Saya bayangkan? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan dalam yang tentu saja bukan baru Saya pikirkan di bulan Juli 2012, namun sebenarnya Saya sudah bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan ini sejak lama, dan baru Saya coba petakan saat itu. Setelah Saya menemukan jawabannya, Saya membuat semacam vision statement tentang diri Saya, yang akan jadi pijakan bagi Saya untuk menentukan Saya mau belajar apa setelah ini. Banyak orang sebenarnya memikirkan ini, namun tidak banyak yang benar-benar memvisualisasikan atau paling tidak menuliskannya. Karena Saya orangnya visual banget, jadi visualisasi jadi bagian yang penting.
Langkah selanjutnya adalah Saya mengumpulkan informasi tentang sekolah yang Saya inginkan. Salah satu yang dapat dipertimbangkan adalah dengan melihat dari ranking sekolah (meskipun ini tidak dapat dijadijakan sebagai referensi satu-satunya). Karena Saya menginginkan sekolah ke Amerika, maka Saya mencoba mengecek beberapa versi ranking yang ada, salah satunya ini. Yang saya lihat bukan hanya ranking sekolah secara keseluruhan, namun lebih spesifik lagi ke bidang yang ingin Saya tekuni.
Setelah itu, misalnya Saya mengambil 15 yang terbaik, lalu dari daftar 15 sekolah ini, saya mengalokasikan waktu sekitar 1 bulan untuk riset mengenai sekolah ini. Saya tidak mau hanya terbuai dengan nama besar sekolah, ataupun peluang-peluang yang ada. Namun pertanyaan utama yang harus terjawab adalah: “Apakah sekolah ini sesuai dengan Saya? Dan bagaimana sekolah ini bisa membantu Saya mencapai impian Saya?”
Untuk menjawab itu, website sekolah biasanya adalah salah satu sumber penting yang dapat dijadikan acuan. Pastikan bahwa kita sudah “mengubek-ubek” isi website itu, mulai dari program ya seperti apa, kurikulum yang digunakan, pelajaran yang diajarkan, guru-guru yang mengajar (faculty members) serta publikasi-publikasi yang dihasilkan, persyaratan pendaftaran yang dibutuhkan, biaya sekolah, perkiraan biaya hidup, riset yang dilakukan oleh sekolah, organisasi/institusi yang terafiliasi dengan sekolah, acceptance rate, profil mahasiswa yang dicari setiap tahunnya, dan lainnya. Website sekolah biasanya menampilkan informasi ini, ataupun kita juga dapat menanyakannya kepada admission office.
Sumber lain yang bisa dijadikan referensi sebenarnya adalah langsung bertanya kepada alumni yang ada. Kalau kenal, atau bisa minta dikenalkan dengan mutual friends kita lebih bagus. Atau kalaupun nggak bisa, saya sempat mencari dariLinkedin profile, dan mengajak diskusi secara random. Hehe. Linkedin sebenernya juga bisa dijadikan sebagai salah satu wadah untuk melihat profil/latar belakang mahasiswa yang biasanya diterima di sekolah ini. Sehingga pada tahap ini kita juga bisa mengukur apakah kiranya kita bisa diterima di sekolah ini – dengan kapasitas yang kita miliki saat ini. Selain itu, dari Linkedin kita juga bisa melihat ke mana saja para alumni setelah lulus. Karir seperti apa yang mereka jalani. Hal ini bisa dilakukan untuk mengimbangi data yang ada dari sekolah (ini bisa ditemukan di website sekolah/dengan bertanya kepada admission office).
Sumber referensi lainnya adalah forum-forum grad school, salah satu yang paling saya senangi adalah the Grad Cafe. Di sini kita bisa berkenalan ataupun mengetahui persiapan-persiapan peserta lainnya. Ada yang akan mendaftar ke sekolah yang sama juga kadang dengan kita. Kita bisa bertanya kepada yang lain, dan juga mengklarifikasi berbagai hal.
Mempertimbangkan Pilihan
Saat mengumpulkan informasi di atas, ada baiknya jika kita memindahkan informasi-informasi yang didapat kedalam matriks yang lebih sederhana dan mudah dibaca (misalnya dengan menggunakan Microsoft excel, sehingga memudahkan kita membandingkannya. Saya sendiri merasakan betapa mudahnya kemudian mempertimbangkan pilihan dengan menggunakan matriks ini, karena Saya jadinya tidak harus bolak balik melihat website nya satu persatu.
Pada tahap ini, Saya tidak terlalu memusingkan masalah biaya. Karena dari pengalaman saya berdiskusi dengan teman-teman yang lain, yang penting kitaKETERIMA dulu di sekolahnya. Biaya urusan belakangan. Jangan sampai gara-gara biaya kita jadi mengecilkan minat kita untuk bersekolah di sekolah yang baik. Kalau mau tahu kenapa? Teman saya Donny Eryastha (MPA/ID Harvard) sudah menuliskan dengan sangat baik sekali di sini.
Dari matriks ini kemudian Saya mengerucutkan lagi pilihan-pilihan yang ada, melihat plus dan minusnya, serta mengukur dengan kapasitas yang Saya miliki, dan kemudian memberi grading dari setiap indikator yang saya gunakan (dari angka 1-5). Sekali lagi yang Saya perhatikan adalah apakah sekolah ini sesuai dengan Saya & bagaimana sekolah ini bisa membantu saya mencapai impian Saya. Misalnya Saya melihat apakah apa yang Saya pelajari akan diajarkan di sekolahnya? Apakah metode yang digunakan (misalnya case method, discussion heavy, paper heavy, dan lain-lain.) sesuai dengan Saya? Apakah ada faculty member yang sudah mengkaji atau menekuni apa yang ingin saya pelajari? Dan lain-lain. Selain sekolah, saya juga melihat faktor-faktor seperti lokasi & kesempatan di luar akademis yang mungkin bisa saya peroleh jika bersekolah di situ. Misalnya, sebagai individu, Saya lebih nyaman tinggal di kota-kota besar yang dinamis, dan juga land of opportunities. Dengan mempertimbangkan unsur seperti ini, maka sekolah bagus semacam Vanderbilt pun harus saya coret dari daftar, karena mungkin saja secara akademis bagus, tapi saya mencari lebih dari sekedar kebutuhan akademis ketika bersekolah. Dari daftar yang ada, kemudian Saya mengerucutkan pilihan Saya menjadi 5 berdasarkan grading mechanism yang saya lakukan.
Membuat Keputusan
Dalam banyak kasus, biasanya teman-teman Saya ketika memutuskan sekolah apa yang akan dilamar, membaginya atas 3 kelompok: dream school (sekolah yang benar-benar diimpikan), medium (kira-kira sesuai dengan kapasitas kita untuk diterima), dan safe schools (sekolah yang hampir pasti akan menerima kita). Berapa jumlahnya? Terserah. Biasanya kalau punya uang lebih, bisa saja apply sampai sepuluh sekolah totalnya (karena biaya pendaftaran satu sekolah bisa berkisar dari 50 USD–250 USD – tergantung sekolahnya). Tapi ingat, setiap sekolah biasanya memiliki persyaratan yang berbeda-beda, khususnya perihal esai, dan kita tidak dapat membuat satu esai - “one fits all” – untuk semua sekolah yang kita akan ambil. Tiap sekolah punya karakternya masing-masing, dan ini akan menentukan kriteria mahasiswa ideal seperti apa yang mereka cari. Begitu juga dengan surat rekomendasi. Satu surat tidak dapat dikirimkan ke setiap sekolah. Pihak yang merekomendasikan kita harus membuat secara spesifik satu surat untuk satu sekolah.
Sehingga bisa dibilang jika kita mendaftar ke lebih banyak sekolah, mungkin memperbesar kesempatan, namun juga membutuhkan persiapan yang jauh lebih menguras energi dan waktu. Kalau tidak lihai mengelola, bisa-bisa justru tidak ada yang dapat, karena dalam mempersiapkan masing-masing aplikasi tidak maksimal. Dalam kasus Saya, Saya menyadari bahwa waktu Saya singkat, hanya sekitar empat bulanan sebelum batas pengumpulan berkas. Sementara saat itu Saya belum belajar apalagi mengikuti sejumlah tes yang disyaratkan (IBT, IELTS, GRE), Saya belum menghubungi mereka yang akan Saya minta untuk menuliskan rekomendasi, mempersiapkan essai, dan lain-lain. Di saat yang sama, itu adalah semester tujuh, dan Saya berencana menyelesaikan kuliah 3,5 tahun – sehingga Saya harus menyelesaikan Tugas Akhir, mengambil beberapa kelas – dan saat itu Saya juga mengerjakan semuanya sembari bekerja. Rasanya Saya tidak mau muluk-muluk untuk mendaftar sekolah banyak-banyak, takutnya tidak optimal.
Tidak muluk-muluk bukan berarti saya mengecilkan impian saya untuk bersekolah di sekolah yang baik, dengan mendaftarkan semua pilihan ke safe schools. Tapi saya selalu percaya, Saya ingin sebisa mungkin mengerjakan yang terbaik, dan kalau bisa kenapa tidak? Saya tetapkan hanya akan mendaftar ke dream schools, dengan bayangan bahwa kalaupun Saya tidak terima, Saya masih bisa mencoba lagi tahun depan. Toh, usia Saya juga masih muda, dan saat itu Saya juga belum lulus s1.
Dengan segala pertimbangan tersebut, akhirnya Saya memutuskan untuk mendaftarkan diri ke Teachers College of Columbia University (pil.ihan 1), danHarvard Graduate School of Education (pilihan 2).
0 komentar:
Posting Komentar