the economist
Melbourne, Australia, terpilih sebagai kota paling layak huni di dunia berdasarkan keunggulan pada 30 faktor yang dikelompokkan menjadi lima kriteria; stabilitas, kesehatan, budaya dan lingkungan, pendidikan dan infrastruktur.KOMPAS.com — Jakarta memang masih menjadi lokasi pilihan investasi properti di Asia, bahkan dunia. Namun, ibu kota Indonesia ini bukanlah kota layak huni (livable city). Jakarta masih belum bebas dari banjir, sampah, kemacetan, masalah keamanan, dan polusi.
Menurut riset The Economist yang dilansir Jumat (30/8/2013), Jakarta tidak termasuk kota dalam 60 peringkat pertama yang diprediksi bakal menempati posisi lebih atas. Sementara London dan New York menempati posisi 53 dan 56. Kedua kota ini memiliki masalah terorisme dan kriminalitas.
Lantas, kota mana yang paling layak huni? Dalam daftar "The Most Livable City in The World", media ini menyebut Melbourne sebagai kota paling layak untuk dihuni. Salah satu kota tersibuk di Australia ini menggeser Wina, Austria, dan pemenang abadi Vancouver, Kanada.
The Economist membuat formulasi kota terlayak berdasarkan 30 faktor yang dikelompokkan dalam lima kriteria utama, yakni stabilitas, kesehatan, budaya dan lingkungan, pendidikan, dan infrastruktur. Melbourne terpilih sebagai pemegang tampuk livable city karena infrastrukturnya terbangun dan terjalin dengan sempurna di setiap sudut kota. Selain itu, kota ini juga mendapat skor tertinggi untuk bidang kesehatan dan pendidikan.
Yang menarik, dan sekaligus menohok, adalah peringkat 10 besar justru didominasi Australia dan Kanada. Mereka menguasai tujuh peringkat, sementara tak satu pun kota perwakilan negara Amerika Serikat yang bertengger di posisi bergengsi. Selain Melbourne, Australia diwakili oleh Adelaide, Sydney, dan Perth. Adapun Kanada menempatkan Vancouver, Toronto, dan Calgary. Peringkat lainnya diduduki Helsinki (Finlandia) dan Auckland (New Zealand).
Kota dengan skor terbaik cenderung menjadi kota menengah di negara-negara kaya dengan kepadatan penduduk yang relatif rendah. Hal ini bisa mendorong berbagai kegiatan rekreasi tanpamengarah ke tingkat kejahatan tinggi atau beban infrastruktur.
The Economist memberikan skor kepada 140 kota yang disurvei dengan tingkatan berbeda sesuai tantangan gaya hidup yang berkembang di kota-kota bersangkutan.
Secara keseluruhan, hasil pemeringkatan tingkat layak huni ini tidak berubah banyak dari tahun ke tahun. Faktor terbesar yang memengaruhi bergesernya peringkat adalah kerusuhan sipil (sosial), seperti yang terjadi di Damaskus, Suriah. Kota ini jatuh ke peringkat terbawah.
Selain Damaskus, kota terburuk lainnya adalah Teheran (Iran), Douala (Kamerun), dan Tripoli (Libya).
Sementara kota-kota lain yang juga sempat dilanda kerusuhan dan kekerasan tetapi telah mereda adalah Bogota. Kota di Kolombia ini mencatat kenaikan tertinggi, bergeser ke peringkat 111. Hal ini tak lepas dari penurunan ancaman terorisme, kekerasan, dan penculikan.
Bagaimana dengan kota "artifisial" seperti Dubai di Uni Emirat Arab? Ternyata, menurut The Economist, posisinya naik tajam ke peringkat 77
.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar