Biografi K.H. Hasyim Asy'ari, Pendiri NU

By Unknown | At 22.46 | Label : | 0 Comments

KH. M. Hasyim Asy’ari, Pahlawan Nasional Pendiri NU

 KabarNet: KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (selanjutnya disingkat Kiai Hasyim) adalah pendiri pesantren Tebuireng, tokoh ulama dan pendiri Nahdhatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Namanya sudah tidak asing lagi di telinga orang Indonesia. Pahlawan Nasional ini merupakan salah satu tokoh besar Indonesia abad ke-20.

Kiai Hasyim lahir pada Selasa Kliwon, 24 Dzul Qa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari l871 M, di pesantren Gedang, desa Tambakrejo, sekitar 2 km. ke arah utara kota Jombang. Putra ketiga dari 11 bersaudara pasangan KiaiAsy’ari dan Nyai Halimah. Kiai Asy’ari adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang.
Dari jalur ayah, nasab Kiai Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir. Sedangkan dari jalur ibu, nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir. Jaka tingkir adalah raja Pajang pertama (tahun 1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau Pangeran Adiwijaya.

Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.
Pada tahun 1293 H/1876 M., tepatnya ketika berusia 6 tahun, Hasyim kecil bersama kedua orang tuanya pindah ke Desa Keras, sekitar 8 km. ke selatan Kota Jombang. Kepindahan mereka adalah untuk membina masyarakat disana.
Di Desa Keras, Kiai Asy’ari diberi tanah oleh sang Kepala Desa, yang kemudian digunakan untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren. Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama oleh orang tuanya. Hasyim juga dapat melihat secara langsung bagaimana ayahnya membina dan mendidik para santri. Hasyim hidup menyatu bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari. Hal ini ditunjang oleh kecerdasannya yang memang brilian. Dalam usia 13 tahun, Hasyim sudah bisa membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar daripada dirinya.
Disamping cerdas, Hasyim juga dikenal rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan sang kakek, mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya, Hasyim selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu.

Mencari Ilmu
Pada usia 15 tahun, remaja Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim melanjutkan rihlah ilmiyahnya ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan Kiai Kholil bin Abdul Latif yang terkenal waliyullah itu.
Setelah lima tahun menuntut ilmu di Bangkalan, pada tahun 1307 H/1891 M., Kiai Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar di pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub. Pemuda Hasyim belajar selama 5 tahun disana. Lalu pada usia 21 tahun, dia dinikahkan dengan Nafisah, salah seorang puteri Kiai Ya’qub. Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H.
Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Kesempatan di tanah suci juga digunakan untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu hadis. Tujuh bulan telah berlalu, Nyai Nafisah pun melahirkan seorang putera yang diberi nama Abdullah. Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya sangat bahagia dengan kelahiran bayi mungil tersebut.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga; gembira dan sedih datang silih berganti. Demikian juga yang dialami Kiai Hasyim. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia di tanah suci Mekah.
Empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, menyusul sang ibu. Kesedihan Kiai Hasyim nyaris tak tertahankan. Namun beliau selalu ingat kepada Allah dengan melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya.
Beberapa bulan kemudian, Kiai Hasyim kembali keIndonesiauntuk mengantar mertuanya pulang.

Belajar Lagi di Tanah Suci
Kerinduan akan tanah suci mengetuk hati Kiai Hasyim untuk kembali lagi kekotaMekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke Mekah bersama adik kandungnya, Anis. Namun Allah kembali menguji kesabaran Kiai Hasyim, karena tak lama setelah tiba di Mekah, Anis dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Peristiwa ini tidak membuat Kiai Hasyim hanyut dalam kesedihan. Kiai Hasyim justru semakin mencurahkan seluruh waktunya untuk belajar dan mendekatkan diri kepada Allah. Di tengah-tengah kesibukan menuntut ilmu, beliau menyempatkan diri berziarah ke tempat-tempat mustajab, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, termasuk ke makam Rasulullah SAW. Setiap Sabtu pagi beliau berangkat menuju Goa Hira’ di Jabal Nur, kurang lebih 10 km. di luar Kota Mekkah, untuk mempelajari dan menghafalkan hadis-hadis Nabi.
Setiap berangkat menuju Goa Hira’, Kiai Hasyim selalu membawa al-Qur’an dan kitab-kitab yang ingin dipelajarinya. Beliau juga membawa perbekalan untuk dimakan selama enam hari disana. Jika hari Jum’at tiba, beliau bergegas turun menuju Kota Mekkah guna menunaikan salat Jum’at disana.
Kiai Hasyim juga rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar ilmu dan mengambil berkah dari mereka. Guru-guru Kiai Hasyim selama di Mekkah, antara lain: Syeikh Syuaib ibn Abdurrahman, Syekh Mahfudzh at-Turmusi, Syekh Khatib al-Minagkabawi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal.
Sejumlah sayyid juga menjadi gurunya, antara lain: Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat mempengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Turmusi.
Setelah ilmunya dinilai mumpuni, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Minakabawi, dll. Disanabeliau mempunyai banyak murid dari berbagai negara. Diantaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti diBombay,India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Mekkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), K.H.R. Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Shaleh (Tayu).
Pada tahun ketujuh di Makkah, tepatnya tahun 1899 (1315H), datang rombongan jamaah haji dariIndonesia. Diantara rombongan terdapat Kiai Romli dari desa Karangkates Kediri, beserta putrinya yang bernama Khadijah. Kiai Romli yang bersimpati kepada Kiai Hasyim mengambilnya sebagai menantu untuk dijodohkan dengan Khadijah.
Setelah pernikahan itu, Kiai Hasyim bersama istrinya pulang kembali ke tanah air. Pada awalnya, beliau tinggal diKediriselama beberapa bulan. Menurut sumber lainnya, Kiai Hasyim langsung menuju pesantren Gedang yang diasuh oleh Kiai Usman, dan tinggal disanamembantu sang kakek. Setelah itu beliau membantu ayahnya, Kiai Asy’ari, mengajar di Pondok Keras.

Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun 1899, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Disanabeliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kiai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kiai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kiai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kiai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kiai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kiai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khodijah, (4) Muhammad Ya’kub.

Pendidik sejati
Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan aktual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.
Kiai Hasyim juga tipe pendidik yang sulit dicari tandingannya. Sejak pagi hingga malam, Kiai Hasyim menghabiskan waktunya untuk mengajar. Pada pagi hari, kegiatan beliau dimulai dengan menjadi imam salat subuh di masjid Tebuireng, yang berada tepat di depan rumahnya, dilanjutkan dengan bacaan wirid yang cukup panjang. Selesai wirid, beliau mengajar kitab kepada para santri hingga menjelang matahari terbit. Diantara kitab yang diajarkan setelah subuh adalah al-Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi ‘Iyadh.
Setelah selesai mengaji, Hadlratus Syeikh yang terbiasa berpuasa itu mememui para pekerja yang sudah berkumpul di samping rumah. Beliau membagi tugas kepada mereka; ada yang ditugaskan merawat sawah, membenahi fasilitas pondok, membenahi sumur, dan lain sebagainya. Setelah itu, beliau mendengarkan laporan-laporan mengenai hal-hal yang pernah beliau perintahkan.
Sekitar pukul 07.00, Kiai Hasyim mengambil air wudlu’ untuk salat dhuha. Beliau biasanya mengambil air wudhu di jeding samping ndalem dengan hanya mengenakan sarung dan kaos putih. Setelah salat dhuha, dilanjutkan dengan mengajar santri senior. Tempatnya di ruang depan ndalem. Kitab yang pernah diajarkan antara lain al-Muhaddzab karya al-Syairazi dan Al-Muattha’ karya Imam Malik ra. Pengajian ini berakhir pada pukul 10.00.
Mulai jam 10.00 pagi sampai jam 12 adalah waktu istirahat, yang digunakan untuk agenda-agenda seperti menemui tamu, membaca kitab, menulis kitab, dan lain-lain. Sebelum azan zuhur, kadang kala beliau menyempatkan diri untuk tidur sebentar (qailulah), sebagai bekal untuk qiyamul lail dan membaca al-Qur’an. Ketika azan zuhur berkumandang, beliau bangun dan mengimami salat zuhur berjama’ah di masjid. Selepas salat zuhur, beliau mengajar lagi sampai menjelang waktu asar.
Kira-kira setengah jam sebelum asar, Kiai Hasyim memeriksa pekerjaan para pekerja yang ditugasinya tadi pagi. Setelah menerima laporan, beliau kembali ke ndalem kemudian mandi.
Setelah terdengar azan asar, beliau kembali ke masjid dan mengimami salat ashar, dilanjutkan dengan mengajar para santri di masjid sampai menjelang masghrib. Kitab yang diajarkan adalah Fath al-Qarib. Pengajian ini wajib diikuti semua santri tanpa terkecuali. Hingga akhir hayatnya, kitab ini secara kontinue dibaca setiap selesai salat asar.
Setelah salat maghrib, Kiai Hasyim menyediakan waktu untuk menemui para tamu yang datang dari berbagai daerah, seperti Banyuwangi, Pasuruan, Malang, Surabaya, Madiun, Kediri, Solo, Jakarta, Jogyakarta, Kalimantan, Bima, Sumatra, Telukbelitung, Madura, Bali, dan masih banyak lagi. Dikisahkan oleh Nyai Marfu’ah, pembantu Kiai Hasyim, bahwa setiap harinya Kiai Hasyim menyediakan banyak makanan dan lauk-pauk untuk menjamu para tamu. Dalam satu hari, jumlah tamunya bisa mencapai 50 orang.
Setelah salat isya, beliau mengajar lagi di masjid sampai pukul sebelas malam. Materi yang biasa diajarkan adalah ilmu tashawuf dan tafsir. Di bidang tasawuf beliau membacakan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali, dan untuk tafsir adalah Tafsir al-Quran al-Adzim karya Ibnu Kastir.
Setelah itu Kiai Hasyim muraja’ah Al-Qur’an dengan disimak oleh beberapa santri. Beliau mengahiri kegiatannya dengan beristirahat, mulai jam satu malam dan bangun satu kemudian untuk qiyamul lail dan membaca al-Quran. Menjelang waktu imsak (sekitar 10 menit sebelum Subuh), Kiai Hasyim sudah berkeliling pondok untuk membangunkan para santri agar segera mandi atau berwudlu’ guna malaksanakan salat tahajjud dan salat subuh. Ketika usianya sudah beranjak sepuh dan harus memakai tongkat untuk menyangga tubuhnya, Kiai Hasyim tetap menjalankan aktivitasnya membangunkan para santri menjelang subuh.
Kiai Hasyim juga dikenal sangat mencintai para santri. Keadaan ekonomi bangsa yang masih sangat lemah, secara otomatis mempengaruhi kemampuan ekonomi santri.Adayang mondok hanya dengan bekal sekarung beras, bahkan ada yang tanpa bekal sedikitpun. Karena itu, Kiai Hasyim memberikan jatah makan harian kepada para santri yang tidak mampu. Lalu setiap hari Selasa, Kiai Hasyim mengajak mereka untuk berwiraswasta atau pergi ke sawah untuk bertani.
Kecintaan Kiai Hasyim pada dunia pendidikan terlihat dari pesan yang selalu disampaikan kepada setiap santri yang telah selesai belajar di Tebuireng: ”Pulanglah ke kampungmu. Mengajarlah disana, minimal mengajar ngaji.”

Sistem Pendidikan di Masa Kiai Hasyim
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Semua bentuk pengajaran tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun hanya berkisar pada materi Pengetahuan Agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pego (tulisan Arab berbahasa Jawa).
Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun ditambah, diantaranya dengan menambah kelas musyawaroh sebagai kelas tertinggi. Santri yang berhasil masuk kelas musyawaroh jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya sangat ketat.
Dalam 20 tahun pertama pertumbuhan Tebuireng, Kiai Hasyim banyak dibantu oleh saudara iparnya, KH. Alwi, yang pernah mengenyam pendidikan 7 tahun di Mekah. Tahun 1916, KH. Ma’shum Ali, menantu pertamanya, mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Sistem madrasah merupakan sistem pengajaran yang diadopsi oleh Hadratusy Syeikh dari Mekah.
Tahun 1916, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki masrasahlimatahun berikutnya. Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasahlimatahun.
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan geografi. Lalu setelah kedatangan Kiai Ilyas tahun 1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. Tahun 1928 kedudukan Kiai Maksum sebagai kepala madrasah digantikan Kiai Ilyas, sedang Kiai Maksum sendiri ditunjuk oleh Kiai Hasyim untuk mendirikan Pesantren Seblak (sekitar 200 meter arah barat Tebuireng).

Pengajian Rutin Shahih Bukhari-Muslim
Meskipun sistem pengajaran di Tebuireng sudah berkembang pesat, namun tradisi pengajian yang diasuh Kiai Hasyim tetap bertahan. Apalagi beliau terkenal sangat disiplin dan istiqamah mengaji.Parasantri tidak pernah bosan mengikuti pengajian beliau.
Kegiatan mengajar Kiai Hasyim diliburkan 2 kali dalam seminggu, yaitu pada Hari Selasa dan Hari Jum’at. Kiai Hasyim biasanya memanfaatkan 2 hari libur itu untuk mencari nafkah. Beliau memantau perkembangan sawah dan ladangnya yang berada kurang lebih 10 km sebelah selatan Tebuireng. Beliau juga memberi kesempatan kepada para santri untuk mengadakan kegiatan kemasyarakatan seperti jam’iyah. Sedangkan pada Hari Selasa, selain pergi ke sawah Kiai Hasyim juga sering bersilaturrahim ke sanak famili serta para santrinya yang mulai merintis pondok pesantren.
Hari libur ini dimanfaatkan oleh putranya, Abdul Wahid, untuk memberikan pelajaran bahasa asing, Inggris dan Belanda, kepada para santri. Meskipun pada awalnya Kiai Hasyim kurang setuju, namun Abdul Wahid mampu meyakinkan bahwa materi bahasa asing sangat penting bagi santri, sehingga Kiai Hasyim akhirnya membolehkan.
Selain mencari nafkah, pada hari Jum’at Kiai Hasyim juga memiliki kegiatan memperbanyak membaca al-Qur’an. Kemudian setelah salat jum’at, beliau memberikan pengajian umum kepada santri dan masyarakat. Dalam pengajian umum ini, Hadratus Syekh memberikan materi Tafsir al-Jalalain, sebuah kitab tafsir karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuthi ra.
Kebiasaan lain yang tak pernah beliau tinggalkan ialah membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau juga sering membaca kitab Dalail al-Khairat yang di dalamnya banyak terdapat shalawat. Ketika ada santri yang menganggur, beliau mengingatkannya untuk membaca shalawat agar waktu yang mereka miliki tidak sia-sia.
Pada bulan Ramadhan, Hadratus Syekh membacakan kitab Shahih Bukhari (4 jilid) dan Shahih Muslim (4 jilid) secara rutin. Pengajian ini dimulai pada tanggal 15 Sya’ban dan selesai pada tanggal 27 Ramadhan (kurang lebih 40 hari). Salah seorang gurunya bahkan pernah ikut ngaji kepada beliau. Menurut satu sumber, guru Kiai Hasyim yang pernah ngaji ke Tebuireng adalah Kiai Kholil Bangkalan, dan menurut sumber lainnya adalah Kiai Khozin Panji, Sidoarjo.

Dekat kepada Allah
Dikisahkan, ketika Hadratus Syeikh merasa amat letih karena siang harinya menghadiri kongres Nahdatul Ulama’ di Malang, beliau tidak bisa memberikan pelajaran di malam hari kepada para santri. Sehabis salat Isya beliau beristirahat tidur sangat pulas. Kiai Hasyim baru bangun pada pukul setengah tiga malam. Beliau langsung mengambil air wudhu, berpakaian rapi dan menjalankan salat tahajjud. Meskipun pada siang harinya belum makan, beliau tidak juga makan di malam hari, padahal persediaan makanan masih ada. Selesai salat tahajjud diiringi dengan wirid dan doa yang panjang, beliau mengambil al-Qur’an lalu dibacanya dengan perlahan-lahan sambil menghayati maknanya. Ketika sampai padasuratAd-Dzariyat ayat 17-18 yang artinya:
Mereka (para shahabat Nabi) sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di waktu sahur (akhir malam) mereka memohon ampun [Ad-Dariyat:17-18].
Seketika itu beliau menghentikan bacaannya. Lalu terdengar suara tangis terisak-isak. Sejurus kemudian air mata telah membasahi jenggotnya yang sudah memutih. Kiai Hasyim merasa bahwa pada malam itu beliau terlalu banyak tidur. Sambil menengadahkan tangan, beliau berdo’a, ”Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah ini, dan berilah hamba kekuatan serta ketabahan untuk melaksanakan segala perintah-perintah-Mu.” Kemudian beliau bangkit dari tempat duduknya menuju tempat salat, lalu bersujud kepada Allah memohon ampun. Lisannya terus membaca tasbih.
Peristiwa seperti ini terjadi berulangkali. Setiap kali membaca ayat-ayat tentang siksa, ancaman, dan murka Allah, atau ayat-ayat yang menerangkan perintah-perintah Allah yang terlupakan oleh kaum muslimin, beliau selalu meneteskan air mata.
* * *
Suatu malam, Kiai Hasyim berniat tidur sejenak guna mengistirahatkan badan. Ketika sampai di tempat tidur, terdengar suara seorang santri dari masjid sedang membaca al-Qu’ansuratal-Muzammil: 1-9 yang artinya:
”Wahai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari kecuali sedikit (dari padanya). Atau lebih dari seperdua (malam), dan bacalah al-Quran dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu di siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Tuhan masyriq dan maghrib, tiada tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Dia sebagai pelindung.” [al-Muzammil: 1-9]
Mendengar ayat itu, Kiai Hasyim yakin bahwa ini adalah teguran dari Allah Swt. melalui santrinya. Allah menegurnya agar tetap beribadah, jangan bermalas-malasan menuruti hawa nafsu. Akhirnya keinginan untuk tidur dibatalkan.
* * *
Diceritakan pula, pada tahun 1943, Kiai Hasyim diserang demam yang sangat hebat. Ketika telah masuk waktu zuhur, beliau memaksakan diri bangkit dari tempat tidur menuju kolam untuk mengambil air wudhu’. Beliau berjalan sambil dipapah oleh kedua putranya. Setelah mengambil air wudhu’, beliau memakai baju rapi disertai sorban untuk menuju masjid. Melihat hal ini, salah seorang putranya, Abdul Karim, berkata, ”Ayah, demam ayah sangat parah. Sebaiknya ayah salat di rumah saja!”
Beliau menjawab, ”Ketahuilah anakku, api neraka itu lebih panas dari pada demamku ini!” Kemudian beliau bangkit dari duduknya dan berjalan menuju masjid dengan dipapah.
Sepulang dari masjid, penyakitnya semakin parah. Sanak famili dan putra-putrinya berdatangan. Badannya terbujur lemah di atas tempat tidur. Kedua matanya terpejam tak sadarkan diri. Tapi tak lama kemudian, matanya terbuka seraya meneteskan air mata.
Adik perempuannya bertanya, ”Di manakah yang terasa sakit, kakak?” Dengan nada sedih, Kiai Hasyim menjawab, ”Aku menangis bukan karena penyakitku, bukan pula karena takut mati atau berat berpisah dengan famili. Aku merasa belum mempunyai amal shaleh sedikitpun. Masih banyak perintah-perintah Allah yang belum aku kerjakan. Alangkah malunya aku menghadap Allah dengan tangan hampa, tiada mempunyai amal kebaikan sedikitpun. Itulah sebabnya aku menangis.”

Karya-Karya Kiai Hasyim
Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.
Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dll.

Karya-karya KH. M. Hasyim Asy’ari yang dapat di telusuri hingga saat ialah:

1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial. Tebal 17 halaman, selesai ditulis hari Senin, 20 Syawal 1360 H., penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami Ma’had Tebuireng.

2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’. Tebal 10 halaman. Berisikan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan Nahdhatul Ulama’ dan dasar-dasar pembentukannya disertai beberapa hadis dan fatwa-fatwa Kiai Hasyim tentang berbagai persoalan. Pernah dicetak oleh percetakan Menara Kudus tahun 1971 M. dengan judul, ”Ihya’ Amal al-Fudhala’ fi al-Qanun al-Asasy li Jam’iyah Nahdhatul Ulama’”.

3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat. Tebal 4 halaman, berisi tentang perlunya berpegang kepada salah satu diantara empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali). Di dalamnya juga terdapat uraian tentang metodologi penggalian hukum (istinbat al-ahkam), metode ijtihad, serta respon atas pendapat Ibn Hazm tentang taqlid.

4. Mawaidz. Beberapa Nasihat. Berisi fatwa dan peringatan tentang merajalelanya kekufuran, mengajak merujuk kembali kepada al-Quran dan hadis, dan lain sebagainya. Testament keagamaan ini pernah disiarkan dalam kongres Nahdhatul Ulama’ ke XI tahun 1935 di Kota Bandung, dan pernah diterjemahkan oleh Prof. Buya Hamka dalam majalah Panji Masyarakat no.5 tanggal 15 Agustus 1959, tahun pertama halaman 5-6.

5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.

6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, mentaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW. Tebal 87 halaman, memuat biografi singkat Nabi SAW mulai lahir hingga wafat, dan menjelaskan mu’jizat shalawat, ziarah, wasilah, serta syafaat. Selesai ditulis pada 25 Sya’ban 1346 H., terdiri dari 29 bab.

7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis berdasarkan kejadian yang pernah dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal 1355 H., saat para santri di salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi dengan perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, permainan yang menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada halaman pertama terdapat pengantar dari tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355 H., terdiri dari 15 bab setebal 63 halaman, dicetak oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415 H.

8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah. Berisi 9 pasal.

9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di dalamnya juga terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’. Tebal 144 halaman.

10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan. Kitab ini biasanya dicetak bersama kitab Miftah al-Falah karya almarhum Kiai Ishamuddin Hadziq, sehingga tebalnya menjadi 75 halaman.

11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan thariqah dalam bentuk tanya-jawab sebanyak 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim, dierbitkan oleh percetakan Menara Kudus. Di dalamnya memuat catatan editor setebal xxxiii halaman. Sedangkan kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai halaman 29.

12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-KubraSurabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak bersama kitab Kiai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf serta dua kitab lainnya karya seorang ulama dari Tuban. Risalah ini ditash-hih oleh syeikh Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar). Selelai ditash-hih pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.

13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak bersama kitab al-Risalah fi al-‘Aqaid.

14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah. Memuat 8 bab, diterbitkan oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng. Di akhir kitab terdapat banyak pengantar dari para ulama, seperti: Syeikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani (pengajar di Masjidil Haram, bermadzhab Syafii), Syeikh Abdul Hamid Sinbal Hadidi (guru besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi), Syeikh Hasan bin Said al-Yamani (Guru besar Masjidil Haram), dan Syeikh Muhammad ‘Ali bin Sa’id al-Yamani.

Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip karya KH. Hasyim Asy’ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1. Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari.
2. Ar-Risalah at-Tawhidiyah
3. Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id
4. Al-Risalah al-Jama’ah
5. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
6. al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
7. Manasik Shughra

Komite Hijaz dan Pendirian NU


Penjajahan panjang yang mengungkung bangsaIndonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapakota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus syeikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.
Pada masa itu, Raja SaudiArabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.
Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kiai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang keSaudi Arabiadan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Tahun 1924, kelompok diskusi taswirul afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus syeikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum dating juga. Kiai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di Bangkalansana, Kiai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kiai Hasyim. Kiai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada Kiai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakansuratThaha ayat 23 kepada Kiai Hasyim.
Ketika Kiai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kiai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syeikh. ”Kiai, saya diutus oleh Kiai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kiai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah kiai, maka yang boleh melepasnya juga harus kiai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kiai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kiai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syeikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah. Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kiai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kiai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar diIndonesia, bahkan diAsia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakatIndonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).
Kiai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al-Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kiai Hasyim ini memperoleh dukungan para kiai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kiai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para kiai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.
Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kiai Hasyim dengan putranya Kiai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).

Berjuang Mengusir Penjajah
Masa awal perjuangan Kiai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyatIndonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.
Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menagkap Kiai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kiai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.
Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syeikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kiai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arahTokyosetiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kiai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah SWT lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kiai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan,Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syeikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kiai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah penahanan Hadratus Syeikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syeikh tercerai berai. Isteri Kiai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kiai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para kiai dan santri. Selain itu, pembebasan Kiai Hasyim juga berkat usaha dari Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kiai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan,Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 diSurabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kiai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kiai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kiai Hasyim.

Dipanggil Yang Kuasa
Malam itu, tanggal 3 Ramadhan 1366 H., bertepatan dengan tanggal 21 Juli 1947 M. jam 9 malam, Kiai Hasyim baru saja selesai mengimami salat Tarawih. Seperti biasa, beliau duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Kiai Hasyim menemui utusan tersebut didampingi Kiai Ghufron (pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya). Sang tamu menyampaikansuratdari Jenderal Sudirman.
Kiai Hasyim meminta waktu satu malam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya. Isi pesan tersebut adalah:
1. Di wilayah Jawa Timur Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Basuki,Surabaya, Madura, Bojonegoro,Kediri, dan Madiun.
2. Hadiratus Syeikh KH.M. Hasyim Asy’ari diminta mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.
3. Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan membantu pengungsian Kiai Hasyim.
Keesokan harinya, Kiai Hasyim memberi jawaban tidak berkenan menerima tawaran tersebut.
Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M., jam 9 malam, datang lagi utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang utusan membawasuratuntuk disampaikan kepada Hadratusy Syeikh. Bung Tomo memohon Kiai Hasyim mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat IslamIndonesia, karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Hadratusy Syeikh kembali meminta waktu satu malam untuk memberi jawaban.
Tak lama berselang, Hadratusy Syeikh mendapat laporan dari Kiai Ghufron (pemimpin Sabilillah Surabaya) bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa kota Singosari Malang (sebagai basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah) telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berujar, ”Masya Allah, Masya Allah…” sambil memegang kepalanya. Lalu Kiai Hasyim tidak sadarkan diri.
Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di Tebuireng. Tapi tak lama kemudian mereka mulai berdatangan setelah mendengar ayahandanya tidak sadarkan diri. Menurut hasil pemeriksaan dokter, Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak (asemblonding) yang sangat serius.
Pada pukul 03.00 dini hari, bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H, Hadratuys Syeikh KH.M. Hasyim Asy’ri dipanggil yang Maha Kuasa. Inna lillahi wa Inna Ilayhi Raji’un.
* * *
Atas jasanya selama perang kemerdekaan melawan Belanda (1945-1947), terutama yang berkaitan dengan 3 fatwanya yang sangat penting:
Pertama, perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat IslamIndonesia.
Kedua, kaum Muslimin diharamkan melakukan perjalanan haji dengan kapal Belanda.
Ketiga, Kaum Muslimin diharamkan memakai dasi dan atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas penjajah.
maka Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai Pahlawan Nasional. [KbrNet/adl]
Sumber: Simtudduror

ORGANISASI DIBAWAH PBB

By Unknown | At 17.36 | Label : | 0 Comments

Organisasi Di Bawah Naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)

PBB merupakan suatu wadah bagi negara-negara di dunia untuk menyelesaikan suatu permasalahan internasional. Banyak organisasi yang bernaung dibawah PBB. Nah, berikut akan saya sampaikan beberapa organisasi  yang dalam PBB.
  1. FAO (Food and Agriculture Organization). Badan ini mengurusi usaha-usaha untuk mengatasi masalah kelaparan.
  2. IAEA (International Atomic Energy Agency). Badan ini mengurusi masalah yang berhubungan dengan energi nuklir.
  3. ILO (International Labour Organization). Organisasi yang membawahi masalah buruh dan pekerjaan.
  4. IMO (International Maritime Organization). Organisasi yang membawahi masalah kelautan.
  5. UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). Organisasi ini membawahi masalah pendidikan dan kebudayaan.
  6. WHO (World Health Organization) adalah badan yang mengurusi masalah kesehatan dunia.
  7. IMF (International Monetary Fund) adalah badan keuangan dunia.
  8. WFP (World Food Programme) adalah badan dunia yang membantu menyediakan makanan bagi mereka yang kekuarangan makanan.
Itulah beberapa organisasi PBB yang mengurusi bidang-bidang tertentu.

Sumber : 
wikipedia
http://puteka85.blogspot.com/2012/09/organisasi-di-bawah-naungan.html

Presiden Indonesia

By Unknown | At 22.20 | Label : | 0 Comments

Biografi Lengkap Seluruh Presiden Indonesia

Presiden Pertama, Ir. Soekarno (1945-1966)

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..
Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.
Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”

Presiden Kedua, Soeharto (1966-1998)

Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk, Yogyakarta, tanggal 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga sebagai pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah.
Soeharto masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah. Semula disekolahkan di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Lalu pindah ke SD Pedes, lantaran ibunya dan suaminya, Pak Pramono pindah rumah, ke Kemusuk Kidul. Namun, Pak Kertosudiro lantas memindahkannya ke Wuryantoro. Soeharto dititipkan di rumah adik perempuannya yang menikah dengan Prawirowihardjo, seorang mantri tani.
Sampai akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941. Beliau resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai Mangkunegaran.
Perkimpoian Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai enam putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Jenderal Besar H.M. Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer dan politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel.
Pada tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal Panglima Besar Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat).
Tanggal 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Tugasnya, mengembalikan keamanan dan ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.
Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan selaku Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih dari tiga dasa warsa lewat enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21 Mei 1998.
residen RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.
Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.
Kemudian sekira pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Isak tangis warga pecah begitu rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekira pukul 14.55, Minggu (27/1).
Seementara itu, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.

Presiden Ketiga, Habibie (1998-1999)

Presiden ketiga Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936. Beliau merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA. Tuti Marini Puspowardojo. Habibie yang menikah dengan Hasri Ainun Habibie pada tanggal 12 Mei 1962 ini dikaruniai dua orang putra yaitu Ilham Akbar dan Thareq Kemal.
Masa kecil Habibie dilalui bersama saudara-saudaranya di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Sifat tegas berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie sejak kanak-kanak. Habibie yang punya kegemaran menunggang kuda ini, harus kehilangan bapaknya yang meninggal dunia pada 3 September 1950 karena terkena serangan jantung. Tak lama setelah bapaknya meninggal, Habibie pindah ke Bandung untuk menuntut ilmu di Gouvernments Middlebare School. Di SMA, beliau mulai tampak menonjol prestasinya, terutama dalam pelajaran-pelajaran eksakta. Habibie menjadi sosok favorit di sekolahnya.
Setelah tamat SMA di bandung tahun 1954, beliau masuk Universitas Indonesia di Bandung (Sekarang ITB). Beliau mendapat gelar Diploma dari Technische Hochschule, Jerman tahun 1960 yang kemudian mendapatkan gekar Doktor dari tempat yang sama tahun 1965. Habibie menikah tahun 1962, dan dikaruniai dua orang anak. Tahun 1967, menjadi Profesor kehormatan (Guru Besar) pada Institut Teknologi Bandung.
Langkah-langkah Habibie banyak dikagumi, penuh kontroversi, banyak pengagum namun tak sedikit pula yang tak sependapat dengannya. Setiap kali, peraih penghargaan bergengsi Theodore van Karman Award, itu kembali dari “habitat”-nya Jerman, beliau selalu menjadi berita. Habibie hanya setahun kuliah di ITB Bandung, 10 tahun kuliah hingga meraih gelar doktor konstruksi pesawat terbang di Jerman dengan predikat Summa Cum laude. Lalu bekerja di industri pesawat terbang terkemuka MBB Gmbh Jerman, sebelum memenuhi panggilan Presiden Soeharto untuk kembali ke Indonesia.
Di Indonesia, Habibie 20 tahun menjabat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT, memimpin 10 perusahaan BUMN Industri Strategis, dipilih MPR menjadi Wakil Presiden RI, dan disumpah oleh Ketua Mahkamah Agung menjadi Presiden RI menggantikan Soeharto. Soeharto menyerahkan jabatan presiden itu kepada Habibie berdasarkan Pasal 8 UUD 1945. Sampai akhirnya Habibie dipaksa pula lengser akibat refrendum Timor Timur yang memilih merdeka. Pidato Pertanggungjawabannya ditolak MPR RI. Beliau pun kembali menjadi warga negara biasa, kembali pula hijrah bermukim ke Jerman.
Sebagian Karya beliau dalam menghitung dan mendesain beberapa proyek pembuatan pesawat terbang :
* VTOL ( Vertical Take Off & Landing ) Pesawat Angkut DO-31.
* Pesawat Angkut Militer TRANSALL C-130.
* Hansa Jet 320 ( Pesawat Eksekutif ).
* Airbus A-300 ( untuk 300 penumpang )
* CN – 235
* N-250
* dan secara tidak langsung turut berpartisipasi dalam menghitung dan mendesain:
• Helikopter BO-105.
• Multi Role Combat Aircraft (MRCA).
• Beberapa proyek rudal dan satelit.
Sebagian Tanda Jasa/Kehormatannya :
* 1976 – 1998 Direktur Utama PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara/ IPTN.
* 1978 – 1998 Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia.
* Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi / BPPT
* 1978 – 1998 Direktur Utama PT. PAL Indonesia (Persero).
* 1978 – 1998 Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam/ Opdip Batam.
* 1980 – 1998 Ketua Tim Pengembangan Industri Pertahanan Keamanan (Keppres No. 40, 1980)
* 1983 – 1998 Direktur Utama, PT Pindad (Persero).
* 1988 – 1998 Wakil Ketua Dewan Pembina Industri Strategis.
* 1989 – 1998 Ketua Badan Pengelola Industri Strategis/ BPIS.
* 1990 – 1998 Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-lndonesia/lCMI.
* 1993 Koordinator Presidium Harian, Dewan Pembina Golkar.
* 10 Maret – 20 Mei 1998 Wakil Presiden Republik Indonesia
* 21 Mei 1998 – Oktober 1999 Presiden Republik Indonesia

Presiden Keempat, Abdurrahman Wahid (1999-2001)

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.
Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkimpoiannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
Pengalaman Pendidikan
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’shum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut.
Perjalanan Karir
Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri.
Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM.
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap ‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid.

Presiden Kelima, Megawati (2001-2004)

Presiden Republik Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Sebelum diangkat sebagai presiden, beliau adalah Wakil Presiden RI yang ke-8 dibawah pemerintahan Abdurrahman Wahid. Megawati adalah putri sulung dari Presiden RI pertama yang juga proklamator, Soekarno dan Fatmawati. Megawati, pada awalnya menikah dengan pilot Letnan Satu Penerbang TNI AU, Surendro dan dikaruniai dua anak lelaki bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama.
Pada suatu tugas militer, tahun 1970, di kawasan Indonesia Timur, pilot Surendro bersama pesawat militernya hilang dalam tugas. Derita tiada tara, sementara anaknya masih kecil dan bayi. Namun, derita itu tidak berkepanjangan, tiga tahun kemudian Mega menikah dengan pria bernama Taufik Kiemas, asal Ogan Komiring Ulu, Palembang. Kehidupan keluarganya bertambah bahagia, dengan dikaruniai seorang putri Puan Maharani. Kehidupan masa kecil Megawati dilewatkan di Istana Negara. Sejak masa kanak-kanak, Megawati sudah lincah dan suka main bola bersama saudaranya Guntur. Sebagai anak gadis, Megawati mempunyai hobi menari dan sering ditunjukkan di hadapan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana.
Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini memulai pendidikannya, dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta. Sementara, ia pernah belajar di dua Universitas, yaitu Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972). Kendati lahir dari keluarga politisi jempolan, Mbak Mega — panggilan akrab para pendukungnya — tidak terbilang piawai dalam dunia politik. Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya. Beliau bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru pada tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak suara.
Masuknya Megawati ke kancah politik, berarti beliau telah mengingkari kesepakatan keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik keluarga itu ditabraknya. Megawati tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak bicara. Ternyata memang berhasil. Suara untuk PDI naik. Dan beliau pun terpilih menjadi anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula Megawati terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.
Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Tampaknya, Megawati tahu bahwa beliau masih di bawah tekanan. Selain memang sifatnya pendiam, belaiu pun memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik saat itu. Maka beliau memilih lebih banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi politiknya, yang silent operation, itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan terbitnya bintang Mega dalam dunia politik. Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini sangat mengagetkan pemerintah pada saat itu.
Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung Budi Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat yang didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.
Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI. Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Karena Mega dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan. Mega teguh menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor itu.
Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin memantap langkah mengibarkan perlawanan. Tekanan politik yang amat telanjang terhadap Mega itu, mengundang empati dan simpati dari masyarakat luas.
Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi paling patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya. Tetapi ternyata pada SU-MPR 1999, Mega kalah.
Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya memantapkan Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di negeri ini. Sebab kurang dari dua tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara aklamasi menempatkan Megawati duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid. Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003. Setelah habis masa jabatannya, Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan presiden langsung tahun 2004. Namun, beliau gagal untuk kembali menjadi presiden setelah kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono yang akhirnya menjadi Presiden RI ke-6.

Presiden Keenam, Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)

Ini dia Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden RI ke-6. Berbeda dengan presiden sebelumnya, beliau merupakan presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam proses Pemilu Presiden putaran II 20 September 2004. Lulusan terbaik AKABRI (1973) yang akrab disapa SBY ini lahir di Pacitan, Jawa Timur 9 September 1949. Istrinya bernama Kristiani Herawati, merupakan putri ketiga almarhum Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo.
Pensiunan jenderal berbintang empat ini adalah anak tunggal dari pasangan R. Soekotjo dan Sitti Habibah. Darah prajurit menurun dari ayahnya yang pensiun sebagai Letnan Satu. Sementara ibunya, Sitti Habibah, putri salah seorang pendiri Ponpes Tremas. Beliau dikaruniai dua orang putra yakni Agus Harimurti Yudhoyono (mengikuti dan menyamai jejak dan prestasi SBY, lulus dari Akmil tahun 2000 dengan meraih penghargaan Bintang Adhi Makayasa) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (lulusan terbaik SMA Taruna Nusantara, Magelang yang kemudian menekuni ilmu ekonomi).
Pendidikan SR adalah pijakan masa depan paling menentukan dalam diri SBY. Ketika duduk di bangku kelas lima, beliau untuk pertamakali kenal dan akrab dengan nama Akademi Militer Nasional (AMN), Magelang, Jawa Tengah. Di kemudian hari AMN berubah nama menjadi Akabri. SBY masuk SMP Negeri Pacitan, terletak di selatan alun-alun. Ini adalah sekolah idola bagi anak-anak Kota Pacitan. Mewarisi sikap ayahnya yang berdisiplin keras, SBY berjuang untuk mewujudkan cita-cita masa kecilnya menjadi tentara dengan masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) setelah lulus SMA akhir tahun 1968. Namun, lantaran terlambat mendaftar, SBY tidak langsung masuk Akabri. Maka SBY pun sempat menjadi mahasiswa Teknik Mesin Institut 10 November Surabaya (ITS).
Namun kemudian, SBY justru memilih masuk Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP) di Malang, Jawa Timur. Sewaktu belajar di PGSLP Malang itu, beliau mempersiapkan diri untuk masuk Akabri. Tahun 1970, akhirnya masuk Akabri di Magelang, Jawa Tengah, setelah lulus ujian penerimaan akhir di Bandung. SBY satu angkatan dengan Agus Wirahadikusumah, Ryamizard Ryacudu, dan Prabowo Subianto. Semasa pendidikan, SBY yang mendapat julukan Jerapah, sangat menonjol. Terbukti, belaiu meraih predikat lulusan terbaik Akabri 1973 dengan menerima penghargaan lencana Adhi Makasaya.
Pendidikan militernya dilanjutkan di Airborne and Ranger Course di Fort Benning, Georgia, AS (1976), Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, Georgia, AS (1982-1983) dengan meraih honor graduate, Jungle Warfare Training di Panama (1983), Anti Tank Weapon Course di Belgia dan Jerman (1984), Kursus Komandan Batalyon di Bandung (1985), Seskoad di Bandung (1988-1989) dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, AS (1990-1991). Gelar MA diperoleh dari Webster University AS. Perjalanan karier militernya, dimulai dengan memangku jabatan sebagai Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (Komandan Peleton III di Kompi Senapan A, Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Kostrad) tahun 1974-1976, membawahi langsung sekitar 30 prajurit.
Batalyon Linud 330 merupakan salah satu dari tiga batalyon di Brigade Infantri Lintas Udara 17 Kujang I/Kostrad, yang memiliki nama harum dalam berbagai operasi militer. Ketiga batalyon itu ialah Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Batalyon Infantri Lintas Udara 328/Dirgahayu, dan Batalyon Infantri Lintas Udara 305/Tengkorak. Kefasihan berbahasa Inggris, membuatnya terpilih mengikuti pendidikan lintas udara (airborne) dan pendidikan pasukan komando (ranger) di Pusat Pendidikan Angkatan Darat Amerika Serikat, Ford Benning, Georgia, 1975. Kemudian sekembali ke tanah air, SBY memangku jabatan Komandan Peleton II Kompi A Batalyon Linud 305/Tengkorak (Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad) tahun 1976-1977. Beliau pun memimpin Pleton ini bertempur di Timor Timur.
Sepulang dari Timor Timur, SBY menjadi Komandan Peleton Mortir 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977). Setelah itu, beliau ditempatkan sebagai Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978), Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981), dan Paban Muda Sops SUAD (1981-1982). Ketika bertugas di Mabes TNI-AD, itu SBY kembali mendapat kesempatan sekolah ke Amerika Serikat. Dari tahun 1982 hingga 1983, beliau mengikuti Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983 sekaligus praktek kerja-On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983. Kemudian mengikuti Jungle Warfare School, Panama, 1983 dan Antitank Weapon Course di Belgia dan Jerman, 1984, serta Kursus Komando Batalyon, 1985. Pada saat bersamaan SBY menjabat Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)
Lalu beliau dipercaya menjabat Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988) dan Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988), sebelum mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando TNI-AD (Seskoad) di Bandung dan keluar sebagai lulusan terbaik Seskoad 1989. SBY pun sempat menjadi Dosen Seskoad (1989-1992), dan ditempatkan di Dinas Penerangan TNI-AD (Dispenad) dengan tugas antara lain membuat naskah pidato KSAD Jenderal Edi Sudradjat. Lalu ketika Edi Sudradjat menjabat Panglima ABRI, beliau ditarik ke Mabes ABRI untuk menjadi Koordinator Staf Pribadi (Korspri) Pangab Jenderal Edi Sudradjat (1993).
Lalu, beliau kembali bertugas di satuan tempur, diangkat menjadi Komandan Brigade Infantri Lintas Udara (Dan Brigif Linud) 17 Kujang I/Kostrad (1993-1994) bersama dengan Letkol Riyamizard Ryacudu. Kemudian menjabat Asops Kodam Jaya (1994-1995) dan Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995). Tak lama kemudian, SBY dipercaya bertugas ke Bosnia Herzegovina untuk menjadi perwira PBB (1995). Beliau menjabat sebagai Kepala Pengamat Militer PBB (Chief Military Observer United Nation Protection Force) yang bertugas mengawasi genjatan senjata di bekas negara Yugoslavia berdasarkan kesepakatan Dayton, AS antara Serbia, Kroasia dan Bosnia Herzegovina. Setelah kembali dari Bosnia, beliau diangkat menjadi Kepala Staf Kodam Jaya (1996). Kemudian menjabat Pangdam II/Sriwijaya (1996-1997) sekaligus Ketua Bakorstanasda dan Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998) sebelum menjabat Kepala Staf Teritorial (Kaster) ABRI (1998-1999).
Sementara, langkah karir politiknya dimulai tanggal 27 Januari 2000, saat memutuskan untuk pensiun lebih dini dari militer ketika dipercaya menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Tak lama kemudian, SBY pun terpaksa meninggalkan posisinya sebagai Mentamben karena Gus Dur memintanya menjabat Menkopolsoskam. Pada tanggal 10 Agustus 2001, Presiden Megawati mempercayai dan melantiknya menjadi Menko Polkam Kabinet Gotong-Royong. Tetapi pada 11 Maret 2004, beliau memilih mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam. Langkah pengunduran diri ini membuatnya lebih leluasa menjalankan hak politik yang akan mengantarkannya ke kursi puncak kepemimpinan nasional. Dan akhirnya, pada pemilu Presiden langsung putaran kedua 20 September 2004, SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla meraih kepercayaan mayoritas rakyat Indonesia dengan perolehan suara di attas 60 persen. Dan pada tanggal 20 Oktober 2004 beliau dilantik menjadi Presiden RI ke-6.
Berikut ini data lengkap tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Nama : Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono
Lahir : Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949
Agama : Islam
Jabatan : Presiden Republik Indonesia ke-6
Istri : Kristiani Herawati, putri ketiga (Alm) Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo
Anak : Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono
Ayah : Letnan Satu (Peltu) R. Soekotji
Ibu : Sitti Habibah
Pendidikan :
* Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) tahun 1973
* American Language Course, Lackland, Texas AS, 1976
* Airbone and Ranger Course, Fort Benning , AS, 1976
* Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983
* On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983
* Jungle Warfare School, Panama, 1983
* Antitank Weapon Course di Belgia dan Jerman, 1984
* Kursus Komando Batalyon, 1985
* Sekolah Komando Angkatan Darat, 1988-1989
* Command and General Staff College, Fort Leavenwort, Kansas, AS
* Master of Art (MA) dari Management Webster University, Missouri, AS
Karier :
* Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (1974-1976)
* Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad (1976-1977)
* Dan Tn Mo 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977)
* Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978)
* Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981)
* Paban Muda Sops SUAD (1981-1982)
* Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)
* Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988)
* Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988)
* Dosen Seskoad (1989-1992)
* Korspri Pangab (1993)
* Dan Brigif Linud 17 Kujang 1 Kostrad (1993-1994)
* Asops Kodam Jaya (1994-1995)
* Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995)
* Chief Military Observer United Nation Peace Forces (UNPF) di Bosnia-Herzegovina (sejak awal November 1995)
* Kasdam Jaya (1996-hanya lima bulan)
* Pangdam II/Sriwijaya (1996-) sekaligus Ketua Bakorstanasda
* Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998)
* Kepala Staf Teritorial (Kaster ABRI (1998-1999)
* Mentamben (sejak 26 Oktober 1999)
* Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid)
* Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnopotri) mengundurkan diri 11 Maret 2004
Alamat : Jl. Alternatif Cibubur Puri Cikeas Indah No. 2 Desa Nagrag Kec. Gunung Putri Bogor 16967

Sumber : http://www.beritaunik.net/unik-aneh/biografi-lengkap-seluruh-presiden-indonesia.html?g_q=biografi%20presiden%20indonesia%20gus%20dur
◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Pengikut

Visitors

Flag Counter

Copyright © 2012. BERANI BERMIMPI DAN MELANGKAH - All Rights Reserved B-Seo Versi 5 by Blog Bamz